Analisa Pelatihan PMI dari 3 perspektif, Chapter 2

2.A Palang Merah Indonesia

Palang Merah Indonesia (PMI) adalah lembaga sosial kemanusiaan yang netral dan mandiri, yang didirikan untuk membantu meringankan penderitaan sesama manusia akibat bencana baik bencana alam maupun akibat ulah manusia, tanpa membedakan latar belakang korban yang ditolongnya. Tujuannya semata-mata hanya untuk mengurangi penderitaan sesuai dengan kebutuhan dan mendahulukan keadaan yang lebih parah.
PMI berpegang pada tujuh prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan sabit merah yaitu kemanusiaan, kesamaan, kesukarelaan, kemandirian, kesatuan, kenetralan, dan kesemestaan. Sampai saat ini PMI telah berada di 33 PMI Daerah (tingkat provinsi) dan sekitar 408 PMI Cabang (tingkat kota/kabupaten) di seluruh indonesia.

2.B Pelatihan dan Pendidikan

Ada beberapa istilah yang hampir bersamaan makna, manfaat maupun prosesnya dengan istilah pelatihan. Salah satu diantaranya adalah pendidikan. Menurut UU No 2 tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran/ latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Sedangkan pelatihan menurut Simamora (1997) “Pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional.” Meskipun ada perbedaan dari pelatihan dan pendidikan namun keduanya memiliki persamaan yang cukup esensial yaitu menyebabkan adanya proses belajar dari seseorang. Oleh karena itu, kajian falsafah untuk pelatihan tidak akan terlepas dari filsafat pendidikan.

2.C Deskripsi Aliran
2.C.1 Filsafat pendidikan

Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, sehingga filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu a. Filsafat pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan dengan pendekatan ontologis, epistemologis dan aksiologis.

2.C.2 Behaviorisme

Sebuah sumber mengatakan bahwa behaviorisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan. Falsafah behavioristik yang biasa juga disebut S-R stimulus–respons mencakup tiga teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berasumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, apakah lingungan keluarga, sekolah atau masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, diamati.

Ada 3 teori yang dijelaskan dengan behaviorisme, yaitu:

1. Teori S-R Bond (Stimulus-Response) bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-response atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspons oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat merupakan stimulus yang mengakibatkan respons memetik bunga tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Tokoh utama teori ini adalah Edward L.Thorndike ada tiga hukum belajar yang sangat terkenal dari Thorndike, yaitu law of readness, law of exercise or repetition dan law of effect (Bigge dan Thurst, 1980: 273).

2. Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulus response with conditioning. tokoh utama teori ini Watson, terkenal dengan percobaan conditioning pada anjing.belajar atau pembentukan hubungan dengan stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu.

3. Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Teori ini berkembang dari teori psikologi, reinforcement, merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori S-R Bond dan conditoning. Kalau pada teori conditioning kondisi diberikan pada stimulus maka pada reinforcement kondisi diberikan pada respon karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain ia menguasai apa yang dipelajarinya (respon) maka guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah. Angka tinggi, pujian, dan hadiah merupakan reinforcement , supaya pada kegiatan belajarnya akan lebih giat dan sungguh-sungguh.
Latar belajar teori behavioristis bersumber pada pandangan John Locke mengenai jiwa anak yang baru lahir, ialah jiwanya dalam keadaan kosong. Seperti meja lilin bersih, disebut tabularasa. Dengan demikian pengaruh dari luar sangat menentukan perkembangan jiwa, dan pengaruh luar itu dapat dimanipulasi.
Dari pendekatan behavioristik tersebut di atas diajukan rumus matematis = FL`tingkah laku itu adalah TLk, yakni bahwa tingkah laku itu merupakan fungsi lingkungan. Jika tingkah laku kita beri symbol R dan lingkungan S, maka R = fS dimana R = respon; S =stimulus.

2.C.3 Postmodernisme

Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Kendati—sampai saat ini—belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat.[ Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J. Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dian\ggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi—sebagai mana yang telah disinggung—menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir—akibat ketidakjelasan—akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Postmodernisme melakukan suatu upaya “dekonstruksi” pemikiran. Pada awalnya upaya dekonstruksi ini pada metanarasi yang kemudian diperluas penerapannya, pada bidang yang lebih jauh lebih luas, yakni pada setiap gejala (budaya, kesenian, politik, sosial, arsitektur, gender, dan lain-lain). Dekonstruksi disini bukan untuk membongkar seluruh pemikiran metanarasi namun mencoba menggali dan menghimpun konsep-konsep, metafor-metafor atau makna-makna laten (tersembunyi) dalam keseluruhan narasi metafisika, sehingga menjadi konsep-konsep, metafor-metafor atau makna-makna penting dan sentral di dalam narasi tersebut. Dengan postmodernisme kearifan local menjadi suatu sumbangan penting sehingga banyak hal yang terkait dengan relativisme.

Belum ada Komentar untuk "Analisa Pelatihan PMI dari 3 perspektif, Chapter 2"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel