Analisa Pelatihan PMI dari 3 Perspektif, The End


RELEVANSI TEORI DENGAN MASALAH

3.A Diskusi

Sebagai organisasi kemanusiaan, yang berada di wilayah yang bisa dikategorikan rawan bencana, maka PMI harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat ketika bencana. Mandat ini telah tercantum di dalam dokumen organisasi baik di visi-misi organisasi, rencana strategis maupun perjanjian sebagai salah satu anggota IFRC (International Federation Red Cross and Red Crescent Societies) dan ICRC (International Committee of The Red Cross).
Posisi strategis PMI didalam upayanya sangat didukung oleh kesiapsiagaan dari seluruh SDM yang dimiliki. Ada tiga elemen SDM PMI yaitu pengurus, staf dan relawan yang masing-masing memegang peranan yang berbeda di organisasi ini. Upaya kesiapsiagaan erat kaitannya dengan aktivitas pelatihan yang telah dikembangkan sejak organisasi ini terbentuk.

3.B.1 Sifat dan Nilai Pelatihan PMI dari perspektif Filsafat Pendidikan

Dalam melaksanakan tugasnya, PMI perlu memiliki SDM yang menguasai kompetensi yang menunjang dalam aktivitas tersebut. Kebutuhan ini akan dapat diakomodir melalui kurikulum pelatihan yang disusun berdasarkan kompetensi yang diperlukan. Oleh karena itu sifat dari pelatihan PMI adalah pelatihan berbasis pada kompetesi.
Nilai dari kurikulum ini menggunakan kaidah-kaidah ilmiah dalam menentukan kompetensi yang akan dituju. Kurikulum ini harus jelas wilayah kajiannya (ontologis), bagaimana cara memperolehnya (epistemologis), dan apa kegunaannya (aksiologis) yang tertuang pada rancangan kurikulum berbasis kompetensi.

3.B.2 Analisa Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologis pelatihan PMI
3.B.2.1 Ontologis

Analisa ontologis berusaha untuk menjelaskan apa yang ditelaah oleh ilmu. Objek formal dari pelatihan PMI adalah realitas yang ada, yaitu secara kuantitatif pelatihan PMI berusaha meningkatkan Pengetahuan Sikap dan Ketrampilan dari seluruh SDM PMI, meningkatkan dari yang belum tahu menjadi tahu, sudah terampil menjadi lebih trampil dan akhirnya mampu melakukan upaya pertolongan sesuai dengan kaidah keilmuan dan pelayanan.
Sedangkan kajian kualitatif dari pelatihan PMI berkaitan dengan aktifitas PMI sendiri di wilayah bencana sehingga objek pelatihannya sangat berkaitan dengan bidang penanganan bencana, pelayanan kesehatan, dan manajemen organisasi. Hal tersebut tercantum dalam Pedoman pelatihan PMI mengenai jenis pelatihan di PMI yaitu bidang teknis pelayanan (Penanggulangan Bencana dan Pelayanan Sosial dan Kesehatan), Bidang Organisasi serta PMR dan Relawan.

3.B.2.2 Epistemologis

Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Salah satu metode epistemologis yang dipakai oleh penulis yaitu empirisme dimana pengetahuan diperoleh dengan pengalaman.
Pengalaman di aktivitas bencana sangat diperhatikan dalam pengklasifikasian SDM yang berkompeten. Semakin berpengalaman seorang relawan di bencana, maka dia akan menjadi relawan yang tercatat berkompeten di bidang Penanggulangan Bencana (PB) dan menjadi rekomendasi bagi daerah maupun Cabang dalam pengiriman peserta pelatihan Bidang PB. Sehingga dalam hal ini pengalaman akan memperkaya SDM tersebut untuk kemudian lebih distandarkan kompetensinya dengan pelatihan yang diikuti.
3.B.2.3 Aksiologis
Kajian dalam bidang ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Kegunaan (Aksiologis) dari tiap pelatihan PMI secara terperinci tertuang sesuai dengan tujuan masing-masing pelatihan. Secara garis besar pelatihan PMI bertujuan untuk meningkatkan kemampuan SDM PMI baik itu pengurus, staf maupun relawan untuk siap memberikan pelayanan kemanusiaan kepada masyarakat sesuai kompetensi terbaik yang diperlukan.
Hal tersebut terkait dengan penentuan pelatihan PMI yang berbaasis pada kompetensi dimana dasar pemikirannya adalah bakat dan pemikiran dari tiap SDM PMI berbeda satu dengan yang lain dari dari satu daerah dan daerah yang lain, oleh karena tujuan dari pelatihan PMI adalah membuat suatu kompetensi dasar yang sama yang mampu dikuasai oleh tiap-tiap perbedaan tersebut karena tuntutan dalam penyelamatan yang harus sama dengan standar penyelamatan daerah satu dengan daerah yang lain.

3.C Tujuan dan cakupan pelatihan PMI dari perspektif Behaviorisme

Tujuan pelatihan PMI sesuai dengan teori behaviorisme adalah menerapkan hukum latihan yang dicetuskan oleh Edward L Thorndike yaitu hubugnan dengan stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih dan diulang-ulang. Seorang relawan yang ahli pertolongan pertama tidak direkrut PMI ketika dia sudah ahli bidang itu (meskipun ada mekanisme perekrutan yang langsung merekrut tenag ahli bidang tertentu). Keahlian ini terbentuk dengan mekanisme pelatihan Pertolongan Pertama yang didesain oleh PMI mulai dari orientasi kepalangmerahan, dilanjutkan dengan pelatihan KSR Dasar, Pelatihan spesialisasi Pertolongan pertama yang berisi 80 jam pelajaran (tiap jam 45 menit) kemudian setelah lulus dan sudah menjadi pelaku pertolongan pertama dan persyaratan tertentu bisa mengikuti seleksi pelatihan pelatih selama 56 jam untuk menjadi asisten pelatih, kemudian berjenjang ke pelatih dan pelatih utama.
Cakupan pelatihan PMI meliputi area Pengetahuan, Sikap dan Ketrampilan. Dalam setiap pelatihannya ada standar penilaian yaitu minimal nilai 75 dari variabel Pengetahuan, Sikap dan Ketrampilan. Ketika belum mencapai nilai tersebut maka dimungkinkan adanya pengulangan dan latihan kembali sehingga akhirnya mahir. Beberapa pengkondisian dilakukan ketika dalam situasi pelatihan sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung lebih efektif.
Dengan pendekatan behavioristik, tingkah laku manusia dapat dimanipulasi, dikontrol dan dikendalikan. Pada saat pelatihan dimungkinkan upaya pengkontrolan variabel yang bertujuan untuk membuat peserta didik merasa nyaman sehingga materi dapat lebih mudah terserap dan perubahan perilaku dapat lebih mudah terlaksana. Dari mulai akomodasi, konsumsi sampai kebutuhan transportasi pelatihan difasilitasi oleh penyelenggara pelatihan demi mencapau tujuan tersebut.
Stimulus pengaturan jam belajar disepakati bersama-sama dengan peserta pelatihan dengan suatu acuan standar 10 jam pelajaran sehari sehingga peserta dapat merespon dan melaksanakan kesepakatan tersebut dengan baik. Hal ini perpegang pada prinsip jika lingkungan berubah tingkah lakunya akan berubah juga. Jika kita menginginkan tingkah laku tertentu, kita ubah lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat membentuk tingkah laku yang diinginkan.
Banyak sekali contoh reinforcement yang dilakukan dalam pelatihan PMI. Diantaranya adalah pemberian sertifikat pelatihan bagi peserta yang lulus dan bagi yang belum lulus tetap diberikan piagam keikutsertaan. Sertifikat dan piagam ini akan menjadi dokumen bagi mereka untuk mendapatkan pelatihan selanjutnya. Sehingga reinforcement selalu diberikan agar setiap SDM PMI mampu dan bersedia mengikuti siklus pembinaan SDM.


3.C Signifikansi Pelatihan PMI dari perspektif Postmodernisme

Pendekatan behavioristic-elementaristic menganggap jiwa manusia itu pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus atau perangsang-perangsang dari luar yang ada di lingkungan sekitar. Ada beberapa kelebihan dalam pendekatan ini namun juga menyimpan beberapa kelemahan. Diantaranya tidak mampu menjelaskan karakter relativistik dari sebagian dari manusia yang memang ingin dianggap aktif.
Pengkondisian akan efektif ketika seluruh variabel dikontrol yaitu di pelatihan. Jika hanya metode ini yang dipakai dalam penentuan sistem peltihan, maka keberhasilan pelatihan tidak akan begitu dirasakan pasca pelatihan dan ketika peserta pelatihan kembali ke daerah masing-masing.
Oleh karena itu ada suatu variabel yang perlu dipikirkan yaitu ke-khasan dari masing-masing SDM (pengurus, staf dan relawan) serta banyaknya Pmi Daerah dan Cabang. Hal ini menjadi sangat signifikan karena setiap daerah memiliki karakter tersendiri. Tak terlepas pula bangaimana mereka merespon metode pelatihan yang dipakai. Oleh karena itu perspektid postmodernisme berusaha menjelaskan signifikansi pelatihan PMI.
Dalam suatu kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelatihan yang dilakukan oleh PMI Pusat ke seluruh cabang dan Daerah dilakukan pada tahun 2004 memunculkan suatu fakta kurang diberdayakannya muatan lokal dalam sistem pelatihan yang ada. Hal ini berdampak pada kurang efektifnya pelatihan yang dijalankan dengan hanya memenuhi tuntutan donor (penyandang dana) dalam pelaksanaan pelatihan sehingga tujuan pelatihan belum tercapai.
Dalam perspektif postmodernisme, relativisme menjadi suatu hal yang penting sehingga hal-hal seperti kearifan lokal mampu menjawab fenomena yang ada. Hal ini bukan satu-satunya namun mampu menjadi metode yang pas dalam upaya pemberdayaan potensi laten (terpendam) dari daerah. Dalam pelatihan PMI yang tetap berpegang pada prisip standarisasi kompetensi, muatan lokal menjadi salah satu kompetensi pendukung, yang bukan hal yang wajib namun alangkah lebih baik jika muatan lokal diakomodir dalam pelatihan di daerah tersebut.
Contoh dari penerapan perspektif postmodernisme yaitu dalam pelatihan penggulangan bencana (PB), Kurikulum pelatihannya telah memberikan acuan kompetensi dasar dan kompetensi khusus yang harus diberikan diseluruh daerah penyelenggara. Namun di kompetensi penunjangnya, pelatihan PB yang dilaksanakan di Jawa Tengah dapat mengajarkan sistem peringatan dini yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah. Demikian pula pelatihan PB yang dilakukan didaerah yang lain.
KESIMPULAN DAN LESSON TO LEARN

4.A Kesimpulan

Prinsip-prinsip pendekatan filsafat pendidikan dipakai untuk mengupas sistem pelatihan PMI secara luas dan dalam sehingga mampu menjelaskan lebih banyak esensi dari sifat dan nilai yang ingin dicapai. Kajian ini menjadi lebih fokus dengan analisa ontologis, epistemologis dan aksiologis yang digunakan.
Disisi yang lain, gabungan pemahaman behavioristik dan postmodernisme mampu menjelaskan tujuan, cakupan serta signifikansi dari pelatihan PMI. Penjelasan dalam kedua perspektif menjadi lebih kritis dan masuk akal ketika menjelaskan fenomena berubahnya sistem pelatihan PMI semenjak monitoring dan evaluasi pelatihan yang dilaksanakan pada tahun 2004 dan mengeluarkan rekomendasi sistem pelatihan berbasis kompetensi yang dilaksanakan sejak tahun 2005 sampai sekarang.

4.B Lesson to learn

Pelaksanakan sistem berbasis kompetensi telah diujicobakan dibeberapa daerah di PMI dan kemudian menjadi suatu gerakan nasional di seluruh daerah PMI selama lima tahun terakhir ini. Sistem ini diharapkan mampu memperbaiki pelaksanaan pelatihan sebelumnya yang belum memiliki standar dan kompetensi yang sama. Namun ternyata masih ada tantangan di lapangan ketika begitu banyak bencana yang terjadi di negara ini, PMI dengan SDM yang telah dilatihnya belum mampu menjawab seluruh bantuan yang dibutuhkan
Hal ini dirasakan di beberapa daerah dengan SDM-nya yang masih terbatas dengan keahlian yang diharapkan. Oleh karena itu, diperlukan kajian dengan pendekatan yang berbeda sehingga melihat persoalan yang ada dan mampu menjawabnya untuk tetap memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan sistem pelatihan PMI.

Belum ada Komentar untuk "Analisa Pelatihan PMI dari 3 Perspektif, The End"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel