Kebiasaan Buruk itu Menular, dan Kebiasaaan Baik adalah Obatnya
Weker
berbunyi nyaring, setelah berhasil tidur jam 12 malam, bunyinya berasa nyanyian
merdu di telinga. Sejenak aku menikmati suara weker itu. Lima menit berselang,
kupingku terasa sakit, akhirnya aku mau membuka mata, dan waaaa…ternyata jam
wekernya disetel maksimal oleh suamiku….Secepat kilat kumatikan weker dari
smartphone itu dan kembali tidur lagi.
Tiga
Menit berlalu, terasa panas kamar ini ya??? dan kubuka mataku lagi…
waaah…AC
dimatikan, pintu dibuka…pantas saja. Akhirnya akupun bangun, berbenah dan yup,
hari ini aku berhasil berangkat pagi, 15 menit sebelum jam kerja kantor
dimulai.
Bisa
kupastikan, hari ini aku menjadi orang yang berungtung. Karena satu kebaikan
sudah berhasil kulakukan. Yaitu bangun pagi dan berangkat pagi. Minimal itu
adalah aset yang harus dipertahankan. Seperti layaknya judul di atas, kebiasaan
buruk itu menular dan kebiasaan baik adalah obatnya.
Sebagai
satu alibi, aku bisa menyatakan bahwa selama ini aku telat ke kantor karena
banyak teman kantor yang melakukan hal yang sama dan mereka baik-baik saja.
Jadi, ketika aku punya urusan di rumah, maka aku lebih memilih untuk telat ke
kantor karena toh di kantor juga tidak masalah dengan hal itu. Namun, jika hal
ini dibiarkan tentunya akan berdampak pada label yang nantinya akan melekat ke
kita. Dan ketika kita sampai di cap sebagai karyawan yang tergolong pemalas
karena suka berangkat siang, maka ini menjadi hal yang serius dan harus
dibenahi. Berarti ada yang sakit, ada yang perlu di obati. Makanya salah satu
cara yang bisa kulakukan adalah memulai satu kebiasaan baik setiap hari,
sehingga kebiasaan buruk itu lama-lama bisa terobati.
Bagiku
sendiri, kesadaran untuk memulai kebiasaan baik
dalam pekerjaan, bukan serta merta tanpa alasan. Ada satu peristiwa yang
kualami seminggu yang lalu, yang kemudian menjadikanku sadar. Oh, ternyata
selama ini aku diperhatikan. Bentuk perhatian yang diberikan yaitu dengan
memberitahu ke “temanku” bahwa sebaiknya dia pindah untuk menggantikan posisiku
karena aku sudah jarang masuk kantor. Dan baiknya, temanku itu memberitahukan
hal itu kepadaku.
Dua
hari pertama saat aku tahu, sungguh bukan waktu yang menyenangkan. Aku merasa
ditampar, dilecehkan oleh orang tersebut. Jika dilihat posisinya, dia sama
sekali tidak memiliki hak untuk menilai kinerjaku. Ada yang memberikan masukan,
agar aku “menegurnya” atau langsung bicara kepadanya. Aku memutuskan, untuk
menenangkan diri selama weekend. Dan dengan liburan yang menyenangkan, akhirnya
aku dapat melupakan peristiwa itu.
Lupa
namun tidak berarti mengabaikan. Aku anggap, peristiwa itu adalah suatu
momentum, titik balik, bahwa bahkan orang saja melihat perilaku kita. Apalagi
malaikat yang terus mencatat amal baik dan amal buruk kita. Apalagi Allah swt
yang Maha Tahu. Di luar fakta bahwa apakah informasi itu benar salah, hikmah
yang kudapatkan adalah…apapun yang kita lakukan, pasti akan ada yang menilai.
Minimal diri kita sendiripun menilai. Kuanggap ini adalah cobaan, bahwa mungkin
ada rekan kerja yang tidak nyaman dengan keberadaanku, karena jabatan atau
posisi, namun sebagai pribadi, aku akan berusaha untuk menjadi baik. Aku tidak
akan memilih opsi untuk bicara padanya, sekarang. Mendamprat ataupun
menegurnya. Biarlah itu menjadi amal dia sendiri. Jika dia sengaja menyebarkan
info baik ke temanku atau yang lain tentang keburukanku, dan memfitnah, biarlah
itu menjadi amalku sehingga dapat mengurangi dosa yang aku miliki.
Aku
akan lebih memaksimalkan waktuku untuk berkarya dan melakukan hal-hal positif.
Daripada membuangnya untuk melakukan hal yang tidak perlu. Karena sekali lagi,
itu sangat tidak perlu.
Refleksiku
adalah mulai sekarang aku akan mulai untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baik
dan berani untuk melakukan kebaikan-kebaikan itu.
Good
Morning All
Belum ada Komentar untuk "Kebiasaan Buruk itu Menular, dan Kebiasaaan Baik adalah Obatnya"
Posting Komentar