Sang Mantan
Saya harus berhati-hati menulis
tentang topik ini
Harus dituliskan :
“Catatan ini tidak bermaksud untuk
menyindir, menyudutkan ataupun membuka cerita masa lalu seseorang. (Apalagi saya. #defens). Bila ada kesamaan kisah dan perasaan yang dimiliki itu
mungkin karena kebaperan saja.” Hehe
Alkisah
Rangga kembali bertemu dengan Cinta,
Sang Mantan yang diputuskannya dengan tiba-tiba dengan hanya melalui seperempat
halaman kertas surat. Singkat dan tak berperasaan. Kertas itu tak
berdosa, tapi akhirnyapun dia koyak. Tak banyak menuai cerita, tetapi nyatanya
membuat Cinta Murka. Dia berakhir di jalanan ibu kota, berwujud serpihan-serpihan
kecil, tak berdaya atas kebisuan hubungan yang tadinya membara.
Hingga puluhan purnama berselang,
kesedihan membutakan Cinta atas makna rasa sejati. Mati dan terhempas begitu saja. Lumat atas
dendam pada keegoan sang Rangga.
Sedangkan Rangga? Diam, ya tetap pendiam.
Kokoh? Tidak, dia rapuh. Terpuruk atas pilihan yang dia ambil. Sesal tiada
guna, hanya sebuah kenangan masa lalu yang kemudian pudar atas sebuah dilema.
Hingga di detik pertemuan mereka,
dunia menjadi saksi pertempuran antara rasa dan logika
Dan mereka terkalahkan oleh rasa….
…………………
Oke, kisah diatas adalah cerita film
AADC2. Yang manisnya sungguh telah berhasil membuai saya, berasa terbang ke 10
tahunan yang lalu (discount 50%, #noexplanation)
ketika layaknya berseragam putih abu-abu. (Padahal pas AADC1 saya lagi
kece-kecenya kuliah. #ups. Dan hebatnya dari film ini adalah, saya tetap
terbuai dengan kata-kata puitisnya bro Rangga. Catet ya, puisinya saya acungin
jempol. Bukan Rangganya (#sapuin hatiku Ya Allah).
Kembali ke laptop. So, mari tanggalkan embel-embel
kalian sebagai ibu, ayah, om maupun tante..
Jadilah diri kita sendiri, karena
kita akan bicara tentang mantan.
Definisi yang perlu ditegakkan
disinini adalah mantan_kekasih_putus cinta. Yang tadinya berhubungan dengan
baik dan kemudian berakhir.
Nah, ceritanya akan menjadi sedikit
rumit, ketika kisah mereka berakhir dengan sebuah dilema. Apakah diputuskan sepihak,
terputus karena jarak, keputusan orang tua ataupun karena pihak ketiga. Di awal
putus, mungkin saja kemarahan itu ada. Tapi dengan berjalannya waktu dan
pendewasaan masing-masing pihak dalam istilah kekinian sudah move on maka rasa amarah itu lambat laun
memudar. Menjadi netral. Ada sebuah
penerimaan yang terjadi. Ini saya menganalogikan kehilangan mantan_putus cinta
dengan proses #griefing, berkabung
atas kehilangan sesuatu.
Ketika akhirnya mereka bertemu_ entah
pertemuannya lewat event reunian, tak sengaja bertemu di social media_tanpa
pernah bertemu muka tetapi tetap “tahu kabarnya” atau justru malah menjadi
rekan seprofesi di dunia kerja. Bagaimana reaksi yang terjadi? Apakah reaksinya
akan sama? Apakah negative feeling atau positif feeling? Apakah dendam itu
masih ada? Ataukah rasa bahagia atas kesempatan kedua?
Bagaimana persepsi seseorang atas
Sang Mantan?
Sengaja saya bertanya tentang “Sang
Mantan” di sebuah group sekolah yang isinya mayoritas kaum lelaki. You know- lah kalau lelaki sedang
bergosip. Gak jauh lah dari otomotif, kopi, cewek, dan balik lagi ke siklus
awal… untung time line saya selalu
penuh dengan jadwal rutinitas dengan the krucils, jadi tak perlu menyatu kedua
alis saya membaca celotehan mereka yang rasanya…wow hari gini, emang cowok itu gak pernah bisa dewasa
kali ya. Umur kepala tiga masih ngomongin begituan. Dewasa bro dewasa…#ups ketahuan
mak-maknya.
Nah…
Saya bermaksud menggali pendapat
mereka tentang hal mantan.
Ternyatapun tidak sama
Ada yang secara nyata mengakui bahwa
dirinya masih terpengaruh dengan kata “mantan”. Ada yang kemudian berdalih, dia
tidak pernah berfikir tentang mantan, karena begitu banyaknya mantan yang
dimiliki. Di lain pihak, ada yang proyeksi menyatakan dia tidak peduli dengan
masa lalu. Padahal sejatinya dunianya masih berhubungan dengan mantan.
Jadi kesimpulan saya adalah, setiap lelaki memiliki persepsi yang berbeda
atas sang mantan. Lalu bagaimana dengan perempuan. Oke, pertanyaan itu tidak
perlu dilanjutkan, karena akan menjadi bias, mengingat penulis adalah perempuan
#blocking #proyeksi.
Lalu di mana ujungnya tulisan ini?
Well, saya membiasakan menulis untuk
menasehati diri sendiri..
Karena saya yakin, cerita tentang mantan tak hanya
berhenti disini..setiap orang pasti pernah mengalaminya.
Saya ingin mengajak untuk berfikir
tentang rentang waktu
Masa lalu, masa kini, dan masa yang
akan datang
Kalau bahasa kerennya mah past-present-future
Menurut sebuah penelitian, banyak
orang yang hidupnya tidak bahagia karena terjebak dengan masa lalu dan atau
mencemaskan masa depannya secara berlebihan
Mereka tidak berada di tempat ini dan di masa kini. Here and now
Waktunya habis untuk meratapi
keputusan-keputusan yang diambilnya di masa lalu, dan buruknya, mengecilkan
Tuhan atas apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Padahal hidup
memiliki definisi sebagai rangkaian keputusan-keputusan yang diambil masa lalu
hingga berakhir di masa kini. Sedangkan masa depan nyatanya adalah milik Sang
Illahi Robbi
Jika seseorang menyesali pilihan dan
keputusannya di masa lalu, sedangkan cerita hidupnya sudah dituliskan oleh Yang
Maha Memiliki sebelum dia dilahirkan di dunia, maka itu adalah tindakan yang
mubazir dan tidak baik. Mubazir, karena waktunya habis…yang
seharusnya dia bisa menikmati –hari ininya- dengan lebih baik, tetapi ternyata
dia terjebak dalam frame masa lalu….dan
kemudian dia mengutuk diri ataupun lingkungannya…dan dia menjadi tidak happy. Tidak baik, karena orang yang tidak happy tentunya tidak akan berdampak baik untuk kesehatan baik fisik
maupun mental.
Daripada memusingkan masa lalu,
lebih baik menjadi bahagia di masa ini…karena manusia tidak memiliki waktu,
kecuali masa kini.
Nah apa hubungannya dengan Sang
Mantan?
Saya yakin setiap kepala orang akan
memiliki kesimpulan yang berbeda..
Tidak perlu menebak fikiran saya,
karena ketika ada kisah dimana rasa begitu jahat, atas kegagalan berlari dari
masa lalu, saya justru tertarik dengan kalimat seorang teman:
"Biar saja Sang Maha Pembolak-balik
hati yg mengurusnya. Tugas raga ini hanya mengingatkan, selanjutnya jiwa harus
sibuk mengembalikan kewarasan diri sendiri semata." (Apit, 2016)
Belum ada Komentar untuk "Sang Mantan"
Posting Komentar