Perlindungan Anak sebagai Upaya Mengurangi Dampak Negatif Bencana pada Anak
![]() |
Dokumen PMI |
Saat ini perlindungan
anak adalah isu yang paling krusial dalam upaya penanggulangan bencana. Kenapa?
Paling tidak ada 4 alasan yang mendasarinya. Seperti yang saya kutip dari laman
publikasi IFRC yang bisa dilihati disini. Pertama, mayoritas orang yang terkena dampak
keadaan darurat sering kali adalah anak-anak. Kedua, beragam resiko berpotensi dialami oleh anak di
kondisi bencana. Ketiga, anak-anak adalah
kategori korban bencana yang paling lemah, paling kecil, dan paling tergantung
dengan orang lain. Keempat, Statistik dari lokasi dari seluruh dunia telah
menunjukkan hal itu risiko kekerasan terhadap anak selama dan setelah bencana
bisa meningkat, bahkan secara dramatis populasi dalam keadaan darurat.
PMI dan
seluruh aktor kemanusiaan yang tergabung dalam gerakan kepalangmerahan dan
bulan sabit merah dalam beberapa tahun belakang telah mengembangkan serangkaian
perhatian, kebijakan dan aksi nyata dalam hal perlindungan anak di konteks
bencana. Hal ini menjadi salah satu gerakan dunia yang berusaha untuk
meminimalkan dampak negatif bencana terhadap anak. Dalam tulisan ini, saya akan
mencoba menyampaikan apa itu bencana, perlindungan anak dan apa yang bisa kita
lakukan di dalamnya.
Bencana
Saat ini Indonesia begitu akrab dengan bencana. Ya, tentu
saja karena Indonesia sendiri sebagai salah satu negara yang memiliki beragam
ancaman bencana. Untuk memahai bencana, kamu bisa baca di tulisan saya
sebelumnya, disini.
Bencana memiliki begitu banyak dampak yang menyusahkan
manusia, salah satunya adalah tentang “the invisible wound”. Apa itu? Kamu juga
bisa lihat disini.
Anak-anak sebagai Korban
Bencana
![]() |
Anak sebagai kelompok rentan Dokumen PMI |
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut definisi
WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19
tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 dan diratifikasi
Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud Anak adalah setiap
orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang
berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
Dunia anak
adalah dunia kegembiraan, tumbuh dan berkembang, sesuatu hal yang baru
diketahui, pertemanan dan keikhlasan. Fitrahnya anak adalah seperti kertas
putih yang akan manut / menerima apa aja yang ditorehkan di atasnya. Anak akan
tumbuh bahagia jika orang tua atau orang dewasa disekitarnya bahagia dan
memainkan peran pengasuhan yang optimal. Mereka akan tumbuh kokoh jika mendapatkan
beragam pengalaman hidup yang positif. Hal ini akan sangat penting karena akan
menjadi bekal pembentukan karakter mereka di masa yang akan datang, sepanjang
hidupnya.
Lalu bagaimana
anak-anak memaknai kejadian bencana? Seperti orang dewasa, ini adalah sesuatu
yang tidak mudah. Bahkan sangat-sangat-sangat tidak mudah. Karena mereka belum
memahami sepenuhnya apa itu bencana dan bagaimana menyelamatkan diri yang
benar. Meskipun upaya survival/ penyelamatan diri berkaitan dengan naluri
alami, seperti memundurkan tangan/ badan jika ada api yang menyembur, tapi
menjadi sulit ketika itu dihadapi oleh anak. Seperti yang sudah saya sampaikan
di awal, bencana menjadi sesuatu yang mengancaman ketahanan hidup manusia untuk
masa yang panjang. Karena status perkembangan mereka, anak-anak bahkan lebih
rentan secara emosional terhadap dampak bencana yang menghancurkan.
Anak-anak
dalam situasi bencana menghadapi
berbagai ancaman terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka dengan dampak
yang berpotensi merusak bagi perkembangan mereka. Dalam keadaan darurat seperti
konflik dan bencana alam, anak-anak dapat mengalami kehancuran komunitas
mereka; pemindahan paksa dari rumah, sekolah, dan komunitas mereka; pemisahan
dari atau kehilangan orang yang dicintai; kekurangan dan cedera. Banyak anak
saat ini bergerak karena situasi krisis yang bertahan lama, dengan dan tanpa
pengasuh mereka. Banyak yang berisiko direkrut ke dalam kelompok bersenjata,
terkena peristiwa traumatis, kekerasan fisik dan seksual dan berbasis gender,
dan pelecehan psikologis (IFRC, 2018).
Risiko terhadap anak yang didefinisikan dalam Standar
Minimum untuk Perlindungan Anak dalam Keadaan Darurat, IFRC meliputi:
Kekerasan fisik
Kekerasan seksual
Kekerasan psikologis
Penelantaran
Cedera
Praktik berbahaya termasuk pernikahan dini atau pernikahan paksa
terhadap anak
Tekanan psikologis dan gangguan mental
Anak-anak yang terkait dengan konflik bersenjata dan
kelompok-kelompok bersenjata
Pekerja anak
Anak-anak yang tidak didampingi dan dipisahkan
Keadilan untuk anak-anak
Perlindungan anak sebagai upaya meminimalkan dampak bencana
terhadap anak
![]() |
Kegiatan PSP PMI di Lampung, melibatkan anak Foto by Pak Kris |
Di seluruh
dunia, setiap hari, kekerasan berbasis gender merusak kehidupan dan masa depan
yang tak terhitung jumlah perempuan dan
anak perempuan. Ditambak peningkatan
resiko selama situasi bencana, memperparah tangangan yang mereka hadapi. Tentunya kita tidak boleh diam saja tanpa
melakukan sesuatu.
Semua pekerja
kemanusiaan yang terlibat dalam penanggulangan bencana memiliki tugas dan
kewajiban untuk melindungi anak yang
terdampak krisi dan bencana, termasuk melindungi mereka dari berbagai jenis
kekerasan dan ancaman lainnya. Di gerakan palangmerah dan bulan sabit merah
sendiri, dimana PMI (Palang Merah Indonesia) menjadi salah satu anggotanya,
telah berkembang beragam konsep terkai hal ini, seperti gender mainstreamin,
gender awareness, gender based violence, sexual gender based violence, child
protection, Protection Gender and Inclusion, lingkungan ramah anak, dll. Semua itu bertujuan untuk memaksimalkan
perlindungan dan memastikan tindakan penting dapat dilakukan secara
terkoordinasi dari mulai tahap awal kesiapsagaan hingga pasca tanggap darudat
bencana.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Yang pertama adalah menyadarkan tentang SGBV dan
Perlindungan anak pada petugas kemanusiaan. PMI sendiri telah melakukan hal ini
dalam upayanya di bencana. Saat saya menulis ini, rekan PMI yang melakukan
operasi di Lombok sedang menerima orientasi tentang perlindungan anak. Saya
mengetahui dalam wag Protection, Gender and Inclusion PMI yang saya ikuti, karena kebetulan menjadi
bagian dari tim ini. Salah satu tujuan kegiatan itu tentunya untuk meningkatkan
pemahaman mereka tentang perlindungan anak. Setelah itu, masih banyak lagi yang
harus dilakukan. Dengan memahaminya, diharapkan si penolong bencana pun dapat memainkan
peran penting dalam membantu anak-anak yang terjebak di krisis kemanusiaan,
berupaya mencegah eksploitasi dan pelecehan mereka dan memberikan dukungan
untuk membantu mereka mengatasi trauma ketika itu terjadi. Tentunya sesuai kompetensi dan mengacu pada
prosedur yang sudah ditetapkan.
Untuk teman-teman di Lombok yang sedang mengikuti Workshop
PGI, saya ucapkan selamat dan semoga ilmunya bermanfaat. Semoga dengan ini, upaya
bantuan kepada anak-anak melewati masa sulit dalam bencana dapat berjalan dengan lebih
baik.
Belum ada Komentar untuk "Perlindungan Anak sebagai Upaya Mengurangi Dampak Negatif Bencana pada Anak"
Posting Komentar