Bayang-Bayang Hujan
(@yuliarinta)
Kota
ini seolah abadi. Setiap terdengar namanya, ingatan bertubi-tubi menghampiri. Ingin
sekali rasanya terbang kesana. sekedar mengingat jalanan, gedung kampus yang
dipenuhi pohon-pohon besar, sapaan ramah warga yang menyapa dengan bahasa yang
santun dan sebuah senyum yang tak pernah mau pergi menjauh. Bogor, ingin ku
kembali sekali lagi.
---
Lamunanku buyar oleh dering HP dari
sebuah nama yang tak asing bagiku. Arif, sahabat lama semasa kuliah di Bogor
dulu.
“Halo, Dina apa kabar?” Katanya di
ujung sana
“Hai, Arif. Alhamdulillah baik gue.
Wah apa kabar, Bro? Tumben nih telp.” Jawabku yang biasa memanggilnya dengan
kata Bro dan sis, mengingat begitu dekatnya pertemanan kami kala itu.
“Iya, nih. Sorry Din, bisa gak Lo
ngisi seminar di kampus? Tepatnya Sabtu ini” Tanyanya.
“Hah, mendadak amat, Bro. Sebentar
gue cek.” Jawabku.
Segera kuperiksa kalender kerjaku. Tinggal
di rumah berdua saja dengan Ibu terkadang memberiku jadwal kunjungan ke
beberapa acara keluarga. Menemani beliau tentunya, bercengkrama dan pastinya
mendengar beberapa pertanyaan klise, kapan kamu menikah? Pertanyaan yang kadang
hanya kubalas dengan senyuman ketika stok kesabaranku sedang penuh. Atau
kubalas dengan tatapan sinis dan sederet penjelasan yang membuat orang itu
menyesal menanyakannya kembali padaku..
Pekerjaan
sebagai dosen memberiku jadwal mengajar tetap pada hari dan jam-jam tertentu.
Dengan beberapa kegiatan seminar yang mengundangku sebagai pembicara atas
karya-karya tulisku. Ah, kadang aku malu. Tidakkah mereka tahu, buku-buku itu
sejatinya adalah pelarian atas sakit yang tak juga sembuh hingga sekarang.
Dengan sedikit skenario akhirnya aku
bisa mengosongkan jadwalku di Sabtu yang diminta Arif. Akhirnya harapanku
terkabul. Aku bisa terbang ke Bogor minggu ini.
Mungkin
ini hanya kebetulan saja, jika puisi itu harus bertemu dengan pecintanya. Gumamku tatkala menyelesaikan
naskah cerita fiksi yang sebentar lagi selesai. Undangan dari Arif bagai menghalau
mendung yang akhir-akhir ini melandaku. Sebagai penulis aku membutuhkan ide
baru. Berada di kota ini dengan beragam aktivitasnya lama-lama membuatku penat.
Mungkin perjalanan ke Bogor akan mengembalikan semangatku.
---
Selanjutnya,
hari-hari berjalan begitu lambat. Bisa jadi karena kunjungan ke Bogor menjadi
acara yang begitu kunantikan. Jujur, ada harapan dan ketakutan. Aku takut jika
tiba-tiba bertemu dengannya. Dia? Ya, Anto. Seseorang yang selama 4 tahun
pernah menemaniku hari-hariku di Bogor. Hanya karena sebuah ujian kecil, dia
akhirnya mengirimkan sebuah pesan perpisahan padaku. Andai saja, oh andai saja
kami bisa bertahan. Mungkin ceritanya tidak lagi sama. Tetapi tetap aku tidak
menemukan jawaban sedikitpun darinya.
Tahun
terakhirku di kampus berjalan begitu berat. Aku tidak lagi memperhatikan
dandananku. Berat badanku turun drastis dan mukaku menjadi terasa begitu tebal.
Beban tugas akhir dan dosen pembimbing yang judes bukanlah tandingan dari
hatiku yang lara. Hingga akupun lari, ketika terakhir bertemu
dengannya. Sebulan sejak dia mengirimkan pesan perpisahan. Hatiku yang lara
berteriak untuk menjauhinya. Seolah kesetiaanku tidak cukup membuktikan betapa
besar cintaku untuknya. Ah sudahlah. Lupakan hempaskan, teriakku menghentikan
lamunanku.
Kuputuskan
melihat hpku dan memasang status di whatsapp-ku
dengan tulisan: pulang ke kotamu, ada setangkup rinduku untukmu. Lalu aku
kembali sibuk membalas beberapa pesan yang masuk. Hingga sebuah pesan datang.
“Itu lagumu dulu
Dina, yang masih kuingat sampai sekarang.” Nama
Anto tertulis jelas sebagai pengirim.
Dan
aku terdiam. Pikiranku menerawang jauh membawaku ke 13 tahun yang lalu. Saat
masih menjadi mahasiswa baru yang mencoba menjadi bagian kampus dengan baik.
Mengikuti jadwal kuliah dan sebanyak mungkin terlibat aktif di organisasi
kemahasiswaan. Suatu siang, kala pertama kami bertemu di sebuah seminar.
“Hai, namaku Anto. Kamu Dina, kan? Aku
temannya Arif. Salam kenal” Sapaannya tak berjeda, tipically kakak senior yang suka sok tahu.
Diam-diam
jantungku berdebar. Sejak tadi, senyum manisnya telah
mencuri perhatianku. Tak kusangka sekarang dia tepat berdiri di depanku. Tak
ada satu kata-pun yang berhasil kutemukan untuk sekedar menjawab sapaannya.
Hingga gemericik hujan riuh terdengar.
Suara yang khas bagaikan parade yang
mengiringi debaran jantunku. Riang dan
dalam.
Aku beruntung karena sederet petir sedikit
menyembunyikan rona wajahku. Ingin rasanya
dibawa lari sang waktu. Namun, sekaligus memohon
agar momen ini turut dibawa serta.
Bagiku, dunia adalah milikku dengan segala deburan
jantungku. Apakah ini yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama?
“Aku senang kita bertemu disini.” Anto kembali membuat
suasana menjadi lebih santai.
Aku membisu dan tersipu. Kedua tangannya terulur menyambur jemariku. Matanya
yang lembut membelai hatiku.
“Aku dari Kehutanan. Ini adalah tahun terakhirku dan sekarang
sedang skripsi. Sepertinya kita harus menunggu
hujan selesai.” Kalimatnya terlontar ringan seolah tidak menunggu tanggapan
dariku.
Tangannya meraih
gitar yang berdiri menguping di samping ruangan. Seminar tadi memang menggunakan iringan musik sebagai pembuka acara. Jemarinya
lincah memainkan lagu Kla Project
yang berjudul Yogyakarta.
“Aku
menyukainya, karena aku berasal dari Jogja. Kou sendiri dari mana?”
“Oh aku dari Surabaya.” Akhirnya kalimat pertama keluar dari mulutku
Pertama dan awal dari segala
cerita yang tak berkesudahan. Karena aku
adalah gadis muda yang sedang terpesona. Pertemuan singkat ini
memberiku sebuah judul, bahwa nyatanya hujan memiliki bayangan setia.Setiap
kali dia jatuh membasahi bumi, senyum manis dan kalimat indahnya selalu
mengajakku terbang tinggi.
Akan selalu
melintas kenangan ketika kami menghabiskan sore dengan menyusuri jalanan kota Hujan. Sekedar melihat
bangunan tua bersejarah di kota itu. Membicarakan mimpi-mimpi, masa depan, hitam
putih dan indahnya malam serta momen dia
mengantarku ke
Jika ini cinta,
nyatanya kami tersandera oleh waktu.
Dia sibuk dengan tugas akhirnya dan aku baru belajar
mengenal kota dan budaya. Dia sibuk di tengah belantara hutan, aku merindukan
kehadirannya yang entah sudah berapa purnama tak menyapa. Bodohnya aku tak
mampu sekalipun menyadari jika cerita ini mungkin
tidak akan memiliki kisah penutup.
---
Di kota yang
berbeda di saat yang sama
“Bang, ini ada
undangan untukmu. Tertulis untuk Dr. Anto
Darwin. Kamu diundang di kampusmu. Mereka
mengundangmu untuk membacakan karyamu di sana. Selamat ya, Sayang.”
Ciuman Rani serta merta membangunkan tidurku.
“Oh ya, dimana
acaranya?” Tanyaku.
“Di Bogor lah.” Jawabnya singkat
sambil mengambil travel bag yang
sudah disiapkannya dari sejak tadi pagi
“Jadi nikmati weekend-mu ya sayang, sementara aku juga
ada bisnis trip ke Bali akhir minggu
ini. Pesawatku berangkat jam 3 sore, dan aku harus berangkat sekarang.
Hati-hati ya sayang, jangan lupa bawakan aku asinan Bogor terenak dari sana. I love you.”
Itu adalah
kalimat terakhir sebelum aku kehilangan suaranya. Begitulah Rani, dia istriku.
Perempuan tangguh yang hebat. Tapi bukan itu yang membuatku resah. Aku sudah tahu undangan ini sejak awal bulan lalu. Dan
akulah yang menyarankan Arif untuk mengundangnya juga. Konfirmasi Arif seperti
sebuah pelepas dahaga. Dina akan hadir dalam seminar yang sama denganku, Sabtu
ini.
Nama
itu membuatku pilu.
Aku telah kehilangan cerita tentangnya, Sejak
dia memutuskan untuk tidak mau menungguku dan
lari begitu saja ketika terakhir bertemu. Kudengar dia kembali ke kota
kelahirannya. Dia pasti telah menikah dan memiliki keluarga bahagia disana.
Berita tetangnya telah berhasil kuhapus, namun semua musnah ketika hidupku
hancur. Pernikahan pertamaku hancur dan seluruh harga diriku hilang. Di saat
terburuk hidupku, entah kenapa bayangan Dina datang kembali. Bagaikan dipukul
ribuan rasa penyesalan karena mencampakkannya kala itu. Aku marah pada diri
sendiri bertahun lamanya.
Rani
hadir atas sebuah kehendak. Namun ternyata, dia jauh dari bayanganku semula.
Dan demi berdamai dengan diri, aku loloskan keinginannya untuk berkarir apapun
yang dia inginkan. Agar biduk ini tidak hancur untuk kedua kalinya. Sedang
bayangan Dina seolah kian jelas tergambar di pelupuk mata.
---
Aku memilih jadwal pesawat paling
pagi dari Surabaya ke Bogor. Setelah berpamitan dengan Ibu, aku segera ke
bandara dengan naik mobil online. Waktu
melaju begitu cepat, hingga akhirnya aku bisa melihat gerbang selamat datang
kota Bogor menjelang tengah hari. Jadwalku masih beberapa jam lagi, dan
kuhabiskan dengan melihat kota ini dari atas kendaraan. Mengobati kerinduanku yang
tak pernah pupus.
Gedung serbaguna di Kampus Dramaga,
bangunan yang sama namun memiliki warna cat yang baru. Aku segera melangkah ke
meja pendaftaran. Setelah menandatangani beberapa dokumen yang disodorkan oleh
panitia, aku terpaku pada sebuah kertas yang kupegang. Rundown acara seminar lengkap dengan daftar narasumber yang
diundang. Sebuah nama mengusikku.
Jantungku
tak berhenti berdegub kencang. Hingga sebuah pengumuman dari pembawa acara
mempersilahkanku ke mimbar narasumber. Dua jam waktuku memaparkan hasil
penelitian seperti ujian tesis karena sepasang mata yang memandangku tanpa jeda.
Ingin
segera kusudahi acara ini. Tak mampu rasanya harus bertemu kembali dengannya.
Tidak setelah semua yang terjadi. Bahkan 13 tahun tidak pernah mampu menghapus
luka yang entah kenapa selalu bergantian dengan kenangan manis dengannya.
Dia
disana, menatapku kini. Segera setelah kututup sesi, dia berjalan mendekat.
Kali ini aku tidak bisa kabur lagi.
“Dina.” Hanya sebuah kata yang terdengar.
Kupaksakan
senyumku. Melihat dia, memuaskan kerinduan dan kemarahan yang berlomba hadir.
Dia telah menemukanku.
“Setelah sekian
lama, Dina.” Katanya kembali
Terasa
nafas hangat mengalir dalam tubuhku. Kuberanikan diri mengulurkan tanganku
padanya. Dalam jarak berapa senti, kulihat dia telah banyak berubah. Seolah
hidup telah mencuri Anto-ku yang lama. .
“Maafkan aku, Dina.”Kembali kata itu terucap darinya.
“ Tidak ada yang perlu dimaafkan, Anto. Semuanya
adalah tentang pilihan.” Jawabku sambil
melangkah keluar ruangan seminar. Kuyakin peserta seminar bingung dengan
tingkah kami berdua.
“Andai
kau mau menungguku, Din. Andai kau mau bersabar dan sedikit berusaha.” Katanya
mencoba menghentikan langkahku.
“Apa maksudnya? Apa salahku? Jawab dulu itu”
Kataku
‘Aku tidak bisa pindah ke lain hati, Din.”
Pertahanku
luruh. Ketika sekian lama hatiku merindukan pagi, dipenuhi nelangsa yang
mendalam. Hingga tidak bisa sekalipun aku menerima lelaki lain dalam hidup. Dan
kini terbuka ruang luas di depan kami berdua. Kami telah berada di waktu yang
sama, tak ada jarak seperti dulu. Tapi kami berada di rel yang berbeda. Air
mataku tumpah seketika.
6 Komentar untuk "Bayang-Bayang Hujan"
Aaah...Kota Hujan penuh nostalgia bagiku. Apakah aku harus ke sana pula menuntaskan rindu ini? Nice story mbaa..terutama karena aku can relate banget. Hahaha...
Trus gimana akhirnya Dina dan Anto mba? Gemes nih jadinya hehehee... Sayang sekali ya mereka tak bisa mempersatukan cinta yang selalu bersemayam di hati mereka.
Menunggu. Kata yang terlalu sering didengar itu terkadang menyesakkan dada ya mbak... Aku pernah ngerasain hiksss... Tuh terus Dina gimana mbak???
Huhuhu jadi ikutan sedih
Ya ampun ini kenapa tokohnya pada suka memendam perasaan sih jadi gemes deh...
Ini yang dulu itu. Sudah tamat? Pas ada banyak lomba novel di mana-mana.
Posting Komentar