Kejenuhan dan Ketidakpatuhan: Psikologi Pandemi Bagian 3
Hari ini, tepat 66 hari sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid di Indonesia. Angka kasus positif terus meningkat dan pada tanggal 2 Mei 2020 tercatat sebagai kasus tertinggi di Asia Tenggara. Ada dua fakta, kejenuhan dan ketidakpatuhan melanda.
Kejenuhan
Saya akan mengawali ulasan kali
ini dengan topik kejenuhan. Karena mungkin ini adalah salah satu hal yang
berkaitan erat dengan ketidakpatuhan. Memasuki minggu ke-9 melaksanakan
kebijakan di rumah saja ternyata tidak mudah. Sekolah, beribadah dan bekerja
dari rumah. Wow rekor sebetulnya! Saya yang memiliki sedikit jiwa introvert
saja merasa ingin keluar, sekedar untuk melihat bagaimana rupa jalanan di depan
sana atau apakah ada baju baru yang dipajang di etalase mall terdekat. Apalagi anak-anak
yang biasanya bertemu dan bermain bersama sahabat-sahabatnya di sekolah. Sudah
pasti kejenuhan menjadi tema utama sebagian besar warga terdampak Corona.
Rasa jenuh ini mungkin karena
kondisi yang berlangsung lama tanpa kepastian. Beberapa pakar menyebutkan
keadaan ini akan selesai di bulan Juni 2020 dan ada bahkan yang memprediksi
hingga Desember 2020 dan siapa yang bisa memastikannya? Tidak ada! Yang pasti
adalah perasaan yang hadir dalam rentang waktu tersebut. Jenuh yang menjadi hal
yang normal, dalam situasi yang tidak normal_bencana.
Lalu apa yang bisa kita lakukan
untuk menghadapinya? Sejatinya jenuh itu ternyata dapat dilampiaskan dengan cara yang
berbeda-beda. Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menjadi tetap tenang.
Beragam kreativitas telah muncul dengan kondisi seperti ini. Seperi berkebun di
pot, menyalurkan hobi bernyanyi, tetap bekerja dan berkarya dan sebagainya.
Seperti bisa dibaca disini. Setidaknya, jika ini tetap bisa membuat kita mampu menjaga
perilaku hidup bersih dan sehat, maka itu bisa dilakukan.
Ketidakpatuhan
Begitu banyak upaya pemerintah
telah dikeluarkan demi menekan lajunya kurva penularan. Laju kurva? Iya karena
hingga sekarang pun obat untuk penyakit ini belum ditemukan. Upaya yang
dilakukan adalah melindungi rakyat yang sehat untuk tetap sehat dan yang sakit
bisa segera pulih, karena memang penyakit ini bisa sembuh dengan imunitas yang
ditingkatkan.
Sala satu kebijakan yang sejak pertama
digagas yaitu physical dan social distancing saat harus keluar
rumah. Terakhir perdebatan pada lockdown
vs Pembatasan sosial beskala Besar (PSBB) yang melarang warga untuk keluar
rumah hingga mudik. Namun faktanya, masih terlihat ketidakpatuhan dari
masyarakat.
Banyak warga yang setiap hari masih
keluar rumah untuk bekerja, membeli bahan kebutuhan pokok sehari-hari, beberapa
yang masih nyaman untuk makan di rumah makan langganan hingga rela bersembunyi
di truk pengangkut barang demi bertemu keluarga di kampung. Apa mereka tidak
takut dengan fakta yang ada? Bahwa kasus positif Covid 19 masih terus
bertambah? Atau mungkin menyerahkan semua pada takdir? Bukankah takdir juga
ditentukan oleh doa dan usaha manusia?
Suatu ketika, saya bahkan pernah
menegur tukang sayur langganan yang menjual sayurannya ke komplek karena dia
hanya mengantongi masker dan tidak memakainya sebagai penutup hidung dan mulut.
Alasannya karena tidak nyaman. Sayapun terpaksa bilang jika dia tidak memakai
masker, saya akan menyampaikan lewat wag group ibu-ibu di komplel. Mungkin ini
tidak tepat, karena beliau juga kan orang dewasa. Namun pada taraf tertentu
sepertinya perlu. Dan keesokan harinya saya melihatnya selalu mengenakan masker
setiap kali lewat di komplek perumahan kami.
Tidak hanya satu, ketidakpatuhan
masyarakat Indonesia terkait kebijakan Corona sepertinya jamak terjadi. Kenapa
hal ini terjadi? Beberapa hal mungkin bisa menjadi dasarnya.
Aspek Ekonomi
Memang tidak bisa kita pungkiri
bahwa negara kita adalah negara berkembang (meskipun beberapa bulan lalu saya pernah
membaca bahwa negara kita digadang-gadang menjadi negara maju berikutnya dari wilayah
Asia). Di konteks bencana seperti ini, kita tidak bisa memungkiri beragam fakta
dari luasnya spektrum dampak bencana di aspek ekonomi. Begitu banyak masyarakat
kita yang terpaksa harus tetap bekerja keluar rumah, demi bertahan hidup.
Banyak yang terpaksa pulang kampung karena puluhan dari mereka terkena PHK dan pulang
ke rumah adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki
Aspek Budaya
Belum lagi, rasa bersalah karena
menimbulkan kecewa ketika tidak sowan
ke keluarga di saat hari raya. Budaya dan tradisi telah terbentuk secara turun
temurun yang menjadi kita tidak nyaman untuk merubahnya.
Sisi kepribadian
Tidakpatuh bisa jadi adalah
bentuk dari kepribadian. Ada orang tipe 1 atau tipe 2 (calm vs aktif) dan ada si baik vs buruk. Seperti orang yang merasa
OK meskipun berbuat kesalahan karena ini normal menurut norma dan kepercayaannya.
Tapi ini juga menjadi tidak bisa dibandingkan seperti aple to aple, saat orang tidak patuh-dengan tetap keluar untuk
bekerja ke kantor/ pabrik karena dia hanyalah pegawai. Jika dia tidak masuk
kantor maka dia akan dipecat. Sungguh dilema yang pelik.
Mungkin, begitu banyak pertimbangan ini lah yang kemudian
membuat pemerintah memutuskan memberlakukan PSBB daripada lockdown, tidak seperti negara-negara lain yang sukses
memberlakukan lockdown lainnya.
(Meskipun juga ada yang tidak berhasil dengan lockdown).
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi ketidakpatuhan ini
di lingkup terdekat? Diri sendiri lah minimal. Apakah kita akan ikut-ikutan
menjadi tidak patuh atau tepat menjadi warga yang patuh. Toh, sebagian besar
manusia bersikap dengan meniru lingkungan sekitarnya.
Menurut saya, kita harus kembali pada esensi Corona.
Kita tidak boleh melupakan makhluk kecil yang berbentuk
seperti mahkota ini. Betaga kuat daya menularnya. Bahkan penyebarannya via bernafas,
batuk dan bersin mampu mencapai jarak 6m dalam bentuk large spray droplet.
Manusia memang makhluk yang mudah
lupa, karena Allah menguatkan kita kemampuan untuk melupakan agar kita bahagia.
Namun, kadang-kadang kita menyepelekan. Bahwa data pasien yang diungkap adalah
puncak dari gunung es. Yang 70-80% penderitanya ternyata orang tanpa gejala.
Dengan tetap bergeraknya warga dan tidak mau menahan diri/ patuh atas anjuran
pemerintah, kita bahkan tidak tahu apakah orang yang baru kita temui memiliki risiko
tertular dari orang yang terkonfirmasi Covid 19 atau tidak.
Oleh karena itu edukasi, saling mengingatkan antara kita tetap penting dilakukan
Lupakan kejenuhan tapi fokus lah pada kesehatan.
Seperti yang
diingatkan oleh suami ketika saya mulai terserang stres karena kelamaan di
rumah saja. Tidak lelah mengingatkan untuk selalu cuci tangan, selalu melakukan
desinfektan, mengggunakan masker dll hingga kita nanti mampu menghadapi Corona
dengan penemuan yang ada.
Patuhlah pada himbauan pemerintah agar kita terjaga, InsyaAllah
Tetap semangat, Salam sehat dan bahagia.
Semarang, 6 Mei 2020
Belum ada Komentar untuk "Kejenuhan dan Ketidakpatuhan: Psikologi Pandemi Bagian 3"
Posting Komentar